Demonstrasi, benarkah boleh?

demo

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Di zaman kita hidup sekarang pernahkah kamu menemukan seseorang yang mengaku sebagai tuhan? jika ada apakah dia pernah melakukan siaran pers untuk hal tersebut dan dia adalah salah satu dari pemangku jabatan antara presiden atau gubernur atau walikota?

Dahulu ada seseorang yang memangku kedudukan Raja pernah memproklamirkan bahwa dirinya adalah tuhan, dan rakyatnya seluruhnya mengetahui pernyataannya ini. kemudian Musa diutus kepada Fir’aun (Raja Mesir), Allah Ta’ala berfirman,

اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

Pergilah kepada Fir’aun; Sesungguhnya ia telah melampaui batas“. (QS. Thaha: 24).

Fir’aun sungguh telah melampaui batas dalam kekafiran, berbuat kerusakan, ia benar-benar telah menunjukkan kesombongan yang nyata di muka bumi, dan ia pun menindas orang-orang yang lemah. Sampai-sampai ia mengklaim rububiyah ilahiyah (bahwa dirinya adalah Rabb dan pantas untuk disembah).

Allah tabaroka wa ta’ala berfirman,

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Maka berbicaralah kamu (Musa) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat (siapa dirinya) dan takut (akan kesalahan fatal pengakuan dirinya sebagai tuhan)” (QS. Thaha: 44)

Tidak ada perintah: wahai Musa, pergi ke Fir’aun bersama pengikut dan rakyat yang di dzolimi itu lalu berteriaklah-teriaklah lalu berikan “nasihat” kepada Fir’aun dengan adab yang buruk sebagaimana adab buruknya kepada rakyatnya dan juga adab buruknya kepada Rabb-nya pencipta langit dan bumi. Demi Allah tidak ada ya ikhwan. Islam agama yang mulia, dan memiliki syari’at yang mulia.

Jika ada bantahan mengenai: “itu kan di zaman nabi Musa ‘alaihissalam. Bukan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Baik, berikut hujjah berikutnya:

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan ulil amri diantara kalian.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Al Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan: Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk ditaati yaitu penguasa dan pemerintah. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama salaf/terdahulu dan kholaf/belakangan dari kalangan ahli tafsir maupun ahli fikih dan selainnya. Ada yang berpendapat bahwa ulil amri itu adalah para ulama. Ada yang mengatakan bahwa mereka itu adalah umara’/pemerintah dan ulama. Adapun orang yang berpendapat bahwa ulil amri itu hanya para Sahabat maka dia telah keliru.” Syarh Muslim [6/467] cet. Dar Ibnu al-Haitsam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلىَ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, maka terdapatlah seseorang penguasa syam yaitu Al Hajaj Bin Yusuf, dia adalah pemimpin syam (ulil amri) yang sangat mudah menumpahkan darah kaum muslimin. Jika saja kaum muslimin saat ini ada keinginan membaca atau mendengarkan tentang kisah tersebut, maka banyak sekali ibroh/pelajaran yang banyak seperti bagaimana sahabat yang masih hidup seperti Anas Bin Malik radhiyalahu ‘anhu ketika itu adab beliau dalam menyikapi pemimpin dzolim yang ketika itu melakukan pembunuhan skala besar, bahkan salah satu korban pembunuhannya adalah Abdullah bin Zubair radhiyallahu ta’ala anhu (sebagai informasi Abdullah bin Zubair adalah anak Zubair bin ‘Awwam dan Asma’ binti Abu Bakr, dan beliau pernah di tahnik* oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, *tahnik: dikunyahkan kurma dan di letakkan di langit-langit mulutnya ketika baru lahir)

عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِىٍّ قَالَ أَتَيْنَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فَشَكَوْنَا إِلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنَ الْحَجَّاجِ فَقَالَ « اصْبِرُوا ، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِى عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِى بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ » . سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ – صلى الله عليه وسلم –

Dari Az Zubair bin ‘Adiy, ia berkata, “Kami pernah mendatangi Anas bin Malik. Kami mengadukan tentang (kekejaman) Al Hajjaj pada beliau. Anas pun mengatakan, “Sabarlah, karena tidaklah datang suatu zaman melainkan keadaan setelahnya lebih jelek dari sebelumnya sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian. Aku mendengar wasiat ini dari Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 7068).
Selama Presiden tersebut seorang muslim dan mengerjakan shalat, wajib ditaati.

Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1855).

Penutup:

Hal yang hampir diketahui oleh setiap suami adalah bahwa seorang istri dalam syari’at islam tidak diperkenankan untuk mengangkat suaranya kepada pemimpinnya yaitu suaminya, tidak boleh menceritakan ‘aib suaminya tanpa udzur syar’i, patuh kepada suaminya kecuali jika perintahnya menyelisihi syari’at. Lalu, apakah mungkin perkara sebesar menasihati Ulil amri tidak diajarkan oleh Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam?? mustahil, pasti diajarkan. Pertanyaannya apakah kita mengamalkan amalan wajib hadist shohih berikut ini:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alaa kulli muslim
(wajib bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu agama).

(HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)

Adapun menghinakan penguasa maka perbuatan ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Namun bukan berarti yang dimaksud menghargai mereka adalah dengan mengagung-agungkan penguasa itu. Penguasa dihargai karena besarnya tugas yang diemban dan dengan dihinakannya mereka maka tugas yang menjadi kewajibannya tidak akan terlaksana dengan baik sehingga terjadi banyak kerusakan (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 177).

Pemerintah mengizinkan beredarnya rokok dipasar, apakah rokok menjadi halal?

Pemerintah mengizinkan beredarnya minuman alkohol ditempat tertentu, apakah minuman alkohol menjadi halal?

Pemerintah mengizinkan demonstrasi dengan syarat-syaratnya, apakah demonstrasi menjadi halal?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَطاَعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.

Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan” (HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa-i (VII/159-160), Ahmad (I/94))

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ

“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim)

Mudah-mudahan telah tegak hujjah ini atas Izin Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada setiap muslim.

هدانا الله ﻭﺇﻳﺎﻛﻢ أجمعين

haadaanallah wa iyyakum ‘ajmain.